ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
Perkara Hotel Kartika ditinjau dari UUD No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
dan penyelesaian masalah.
Disusun oleh :
Kartika Puspa
Sari (23216827)
Dewi Tri Astuti
(21216909)
Dhiya Sekarin (21216948)
2EB12
Universitas Gunadarma
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan berkat-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah Aspek Hukum Dalam Ekonomi yang berjudul
perlindungan konsumen.
Harapan kami makalah ini
dapat meningkatkan pemahaman dalam mempelajari ilmu aspek hukum dalam ekonomi
terutama dalam materi pengertian konsumen, azas dan tujuannya, hak dan
kewajiban konsumen, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, klausula baku
dalam perjanjian, tanggung jawab pelaku usaha, sanksi. Apabila terdapat
kesalahan dan kekurangan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja mohon
dimaklumi dan dimaafkan karena kami masih dalam tahap pembelajaran.
Kami menyadari bahwa makalah
ini tidaklah sempurna, oleh karena itu kami menerima kritikan dan saran yang
membangun dari pembaca. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua. Atas perhatian dan kesempatan serta bimbingan yang telah diberikan Dosen
Aspek Hukum Dalam Ekonomi ibu Tuti Eka Asmarini, kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 25 April 2018
Penyusun
PEMBAHASAN
·
Kasus Sengketa
Pencabutan
izin investasi yang telah diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) terhadap AMCO untuk pengelolaan Hotel Kartika Plaza, yang semula
diberikan untuk jangka waktu 30 tahun. Namun BKPM mencabut izin investasi
tersebut ketika baru memasuki tahun ke 9.
Mengenai Perkara Hotel
Kartika ditinjau dari undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan
penyelesaian masalah.
Bab
I Duduk Perkara ( Kasus Posisi )
Kasus
posisi semula, Kartika Plaza, hotel berbintang empat dan berkamar 370 buah itu
milik PT Wisma Kartika, anak perusahaan Induk Koperasi Angkatan Darat
(Inkopad).
Pada
1968, Wisma Kartika menandatangani kerja sama dengan Amco Asia, dan melahirkan
Amco Indonesia. Waktu itu, Amco Asia setuju membangun Kartika Plaza dengan modal US$ 4 juta. Kemudian kedua pihak
membuat perjanjian pembagian keuntungan
dan kontrak manajemen Kartika Plaza. Amco Indonesia akan mengelola hotel itu,
dan menyetorkan separuh keuntungan kepadaWisma Kartika.
Tapi
kerja sama itu, yang mestinya berakhir pada 1999, retak di tengah jalan.Kedua
pihak bertikai soal keuntungan dan modal yang harus disetor keuntungan dan
modal yang harus disetor.
Puncaknya,
pada Maret 1980 pada Maret 1980, Wisma Kartika mengambil alih pengelolaanAmco
Indonesia dinilai pimpinan Wisma Kartika telah "salah urus" dan
melakukan kecurangan keuangan.Amco Indonesia tak bisa menerima
"kudeta" itu. Perusahaan tersebut mengaku sudah menanam dana untuk
Kartika Plaza hamper US$ 5 juta. Kecuali
itu,Amco Indonesia juga menyatakan bahwa mereka, sejak 1969, telah menyetorkan
keuntungan kepada Wisma Kartika sebanyak Rp 400juta. Begitu pula pembagian
keuntungan untuk Wisma Kartika pada1979, sebesar Rp 35 juta, sudah dibayarkan.
Pada
Juli 1980 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut izin usaha
AmcoIndonesia karena mereka dinilai tidak memenuhi kewajiban permodalan.,yang
seharusnya menanam modal US$ 4 juta, kenyataannya cuma menyetor sekitar US$1,4
juta.
Bab
II Hasil Putusan (Mediasi)
Ketiga
badan hukum tersebut diatas, telah mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Arbitrase ICSID bahwa Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini diwakili oleh
badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah dirugikan dan diperlakukan secara
tidak wajar sehubungan dengan pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia.
Pemerintah Indonesia c.q BKPM telah melakukan pencabutan lisensi penanaman
modal asing secara sepihak tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Kasus
sengketa antara Pemerintah Indonesia dalam perkara Hotel Kartika Plaza
Indonesia telah diputus dalam tingkat pertama oleh lembaga ICSID yang
putusannya berisikan bahwa Pemerintah Indonesia telah dinyatakan melakukan
pelanggaran baik terhadap ketentuan hukum internasional maupun hukum Indonesia
sendiri, dimana Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing
yang dilakukan oleh para investor asing seperti AMCO Asia Corporation, Pan
America Development dan PT. Amco Indonesia. dengan arbiter Isl Foighel dari
Danish dan Edward W. Rubin dari kanada.
Dalam
tingkat kedua yang merupakan putusan panitia adhoc ICSID sebagai akibat dari
permohonan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan putusan (annulment) tingkat
pertama yang berisikan bahwa Pemerintah Indonesia dianggap benar serta sesuai
dengan hukum Indonesia untuk melakukan pencabutan lisensi atau izin penanaman
modal asing dan tidak diwajibkan untuk membayar ganti kerugian atas putusan
tingkat pertama, namun Pemerintah Indonesia tetap diwajibkan untuk membayar
biaya kompensasi ganti kerugian atas perbuatannya main hakim sendiri (illegal
selfhelp) terhadap penanaman modal asing dengan arbiter Florentio P. Feliciano dari filipina dan
Andrea Giardina dari kanada.
Putusan
tingkat ketiga oleh ICSID pada pokoknya berisikan bahwa Indonesia tetap
dikenakan kewajiban pembayaran terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat
pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing kepada pihak investor yaitu
sebesar US $ 3.200.000 pada tingkat pertama dengan arbiter Arghyrio A. Fatouros dari greek dan Dietrich
dari swiss.
Dalam sengketa ini,
persyaratan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada ICSID telah
terpenuhi, yaitu:
1. para pihak telah sepakat untuk mengajukan
sengketanya pada ICSID, hal ini tercantum dalam salahsatu klausul dalam
perjanjian antara Indonesia dan Amco Asia
2. keduabelah pihak yang bersengketa , yaitu
Indonesia dan Amco Asia merupakan pihak yang telah menandatangani konvensi
3. sengketa antara Indonesia dan Amco asia ini merupakan
sengketa penanaman modal (investasi)
Bab
III Hasil Arbitrase
Sehubungan dengan
putusan tersebut dengan ini akan mengkaji/meninjau dari ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, antara lain sebagai berikut :
1. Putusan Arbitrase Bertindak Seperti Putusan
Peradilan Umum.
Dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 dengan tegas dnyatakan “Sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang
didasrkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi
di pengadilan negeri”.
Dalam putusan arbitrase baik dalam tahun 1980
s/d 1990 didalam memberikan putusannya seakan-akan memutus seperti pemeriksaan
di Peradilan Umum saja dengan mencari siapa yang bersalah dan melanggar hukum.
Padahal sesuai dengan ketentuan jelas bahwa putusan tersebut diputus dengan
itikad baik dan mengesampikan penyelesaian secara litigasi seperti di
Pengadilan, namun dalam putusan arbitrase tersebut telah bertindak seperti
proses litigasi berpekara di pengadilan tetapi seharusnya putusan tersebut
harus memperhatikan segi ekonominya dengan memutus secara menguntungkan kedua
belah pihak dan bukannya menghukum salah satu pihak.
2. Putusan Arbitrase Melampaui Batas Yang
Ditentukan Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Dalam pasal 48 ayat ()
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dengan tegas dnyatakan “Pemeriksaan atas
sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau
majelis arbitrase terbebtuk.”. Putusan Arbitrase ini kalau dilihat dari kurun
waktunya diputus kurang lebih selama ± 12 tahun, hal ini jelas bertentangan
dengan Pasal 48 ayat (1) undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang telah memberi
batasan 180 hari untuk penyelesaiannya,namun dilihat dari faktanya putusan ini
lebih dari 180 hari dan banyak memakan waktu yang relatif lama.
3. Pengkajian Ulang
Atas Pelaksanaan Putusan Arbitrase Ke Pengadilan Negeri Jakarta. Dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 di Bagian Kedua Arbitrase Internasional
dinyatakan :
Pasal 65 :
“Yang berwenang menangani masalah pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah pengadilan negeri
Jakarta Pusat”.
Pasal 66
“Putusan arbitrase internasional hanya diakui
serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum republik Indonesia,apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
Huruf b:
“Putusan arbitrase internasional sebagaimana
dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum
Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan”.
Huruf c:
“Putusan arbitrase internasional sebagaimana
dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada
putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Huruf d :
“Putusan arbitrase internasional dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari ketua pengadilan
negeri Jakarta Pusat”.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jelas
dinyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah pihak pelaksana putusan
yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrasi internasional dan Putusan
arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuatur dari ketua pengadilan negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan pada ketentuan pasal 66 huruf b, c
dan d, maka Pemerintah R.I. dapat meminta kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat memberikan eksekuaturnya dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri
bahwa putusan tersebut kurang memperhatikan hukum Indonesia yang mana hal
tersebut disyaratkan di dalam Pasal 52 Konvensi ICSID dan telah termaktub dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 (yang mengesahkan konvesi ICSID untuk
Indonesia). Oleh karena itu nantinya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya akan
melaksanakan yang sesuai dengan ketentuan hukum dan ketertiban umum yang sesuai
dengan ketentuan hukum di Indonesia.
KESIMPULAN
Dengan
melihat penyelesaian kasus sengketa penanaman modal asing antara Pemerintah
Indonesia c.q BKPM dengan PT AMCO Limited melalui “legal dispute” pencabutan
lisensi atau izin penanaman modal asing oleh Pemerintah Indonesia c.q BKPM maka
yang perlu mendapat perhatian bagaimana proses beracara melalui arbitrase yang
menurut teori dapat dilalui dengan cepat dan hasilnya memuaskan kedua belah
pihak, namun dalam praktik seperti pada contoh kasus ini menghabiskan waktu
sekitar 9 tahun lamanya.
Namun
dalam putusan tingkat ketiga Dewan Arbitrase ICSID dapat diambil suatu
pelajaran yang sangat bermanfaat bilamana berhadapan dengan pihak penanaman
modal asing bahwa lisensi atau izin yang telah diberikan sedapat mungkin
dihindari pencabutannya. Kemudian bilamana terjadi sengketa antara partner
lokal dengan pihak penanam modal asing, pihak pemerintah sebaiknya tidak ikut
campur dan mengambil tindakan – tindakan yang mengarah kepada pencabutan
lisensi atau izin penanaman modal asing itu
Referensi
:
https://binatangpoerba.wordpress.com/2011/10/13/analisa-terhadap-putusan-arbitrase-mengenai-perkara-hotel-kartika-plaza-di-tinjau-dari-undang-undang-nomor-30-tahun-1999-tentang-arbitrase-dan-penyelesaian-masalah/