Rabu, 25 April 2018

Tugas softskil ke-2 Aspek Hukum Dalam Ekonomi


ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
Perkara Hotel Kartika ditinjau dari UUD No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan penyelesaian masalah.



Disusun oleh :

Kartika Puspa Sari            (23216827)
Dewi Tri Astuti                   (21216909)
Dhiya Sekarin                     (21216948)

2EB12

Universitas Gunadarma
2018

KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan berkat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Aspek Hukum Dalam Ekonomi yang berjudul perlindungan konsumen.
          Harapan kami makalah ini dapat meningkatkan pemahaman dalam mempelajari ilmu aspek hukum dalam ekonomi terutama dalam materi pengertian konsumen, azas dan tujuannya, hak dan kewajiban konsumen, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, klausula baku dalam perjanjian, tanggung jawab pelaku usaha, sanksi.  Apabila terdapat kesalahan dan kekurangan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja mohon dimaklumi dan dimaafkan karena kami masih dalam tahap pembelajaran.
          Kami menyadari bahwa makalah ini tidaklah sempurna, oleh karena itu kami menerima kritikan dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Atas perhatian dan kesempatan serta bimbingan yang telah diberikan Dosen Aspek Hukum Dalam Ekonomi ibu Tuti Eka Asmarini, kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 25  April 2018


Penyusun    


PEMBAHASAN


·        Kasus Sengketa
Pencabutan izin investasi yang telah diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terhadap AMCO untuk pengelolaan Hotel Kartika Plaza, yang semula diberikan untuk jangka waktu 30 tahun. Namun BKPM mencabut izin investasi tersebut ketika baru memasuki tahun ke 9.
Mengenai Perkara Hotel Kartika ditinjau dari undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan penyelesaian masalah.


Bab I  Duduk Perkara ( Kasus  Posisi )

Kasus posisi semula, Kartika Plaza, hotel berbintang empat dan berkamar 370 buah itu milik PT Wisma Kartika, anak perusahaan Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad).
Pada 1968, Wisma Kartika menandatangani kerja sama dengan Amco Asia, dan melahirkan Amco Indonesia. Waktu itu, Amco Asia setuju membangun Kartika Plaza  dengan modal US$ 4 juta. Kemudian kedua pihak membuat perjanjian pembagian  keuntungan dan kontrak manajemen Kartika Plaza. Amco Indonesia akan mengelola hotel itu, dan menyetorkan separuh keuntungan kepadaWisma Kartika.
Tapi kerja sama itu, yang mestinya berakhir pada 1999, retak di tengah jalan.Kedua pihak bertikai soal keuntungan dan modal yang harus disetor keuntungan dan modal yang harus disetor.
Puncaknya, pada Maret 1980 pada Maret 1980, Wisma Kartika mengambil alih pengelolaanAmco Indonesia dinilai pimpinan Wisma Kartika telah "salah urus" dan melakukan kecurangan keuangan.Amco Indonesia tak bisa menerima "kudeta" itu. Perusahaan tersebut mengaku sudah menanam dana untuk Kartika Plaza hamper  US$ 5 juta. Kecuali itu,Amco Indonesia juga menyatakan bahwa mereka, sejak 1969, telah menyetorkan keuntungan kepada Wisma Kartika sebanyak Rp 400juta. Begitu pula pembagian keuntungan untuk Wisma Kartika pada1979, sebesar Rp 35 juta, sudah dibayarkan.
Pada Juli 1980 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut izin usaha AmcoIndonesia karena mereka dinilai tidak memenuhi kewajiban permodalan.,yang seharusnya menanam modal US$ 4 juta, kenyataannya cuma menyetor sekitar US$1,4 juta.


Bab II  Hasil Putusan (Mediasi)

Ketiga badan hukum tersebut diatas, telah mengajukan permintaan kepada Mahkamah Arbitrase ICSID bahwa Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini diwakili oleh badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah dirugikan dan diperlakukan secara tidak wajar sehubungan dengan pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia. Pemerintah Indonesia c.q BKPM telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing secara sepihak tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Kasus sengketa antara Pemerintah Indonesia dalam perkara Hotel Kartika Plaza Indonesia telah diputus dalam tingkat pertama oleh lembaga ICSID yang putusannya berisikan bahwa Pemerintah Indonesia telah dinyatakan melakukan pelanggaran baik terhadap ketentuan hukum internasional maupun hukum Indonesia sendiri, dimana Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing yang dilakukan oleh para investor asing seperti AMCO Asia Corporation, Pan America Development dan PT. Amco Indonesia. dengan arbiter Isl Foighel dari Danish dan Edward W. Rubin dari kanada.
Dalam tingkat kedua yang merupakan putusan panitia adhoc ICSID sebagai akibat dari permohonan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan putusan (annulment) tingkat pertama yang berisikan bahwa Pemerintah Indonesia dianggap benar serta sesuai dengan hukum Indonesia untuk melakukan pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing dan tidak diwajibkan untuk membayar ganti kerugian atas putusan tingkat pertama, namun Pemerintah Indonesia tetap diwajibkan untuk membayar biaya kompensasi ganti kerugian atas perbuatannya main hakim sendiri (illegal selfhelp) terhadap penanaman modal asing dengan arbiter   Florentio P. Feliciano dari filipina dan Andrea Giardina dari kanada.
Putusan tingkat ketiga oleh ICSID pada pokoknya berisikan bahwa Indonesia tetap dikenakan kewajiban pembayaran terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing kepada pihak investor yaitu sebesar US $ 3.200.000 pada tingkat pertama dengan arbiter   Arghyrio A. Fatouros dari greek dan Dietrich dari swiss.
Dalam sengketa ini, persyaratan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada ICSID telah terpenuhi, yaitu:
1.      para pihak telah sepakat untuk mengajukan sengketanya pada ICSID, hal ini tercantum dalam salahsatu klausul dalam perjanjian antara Indonesia dan Amco Asia
2.      keduabelah pihak yang bersengketa , yaitu Indonesia dan Amco Asia merupakan pihak yang telah menandatangani konvensi
3.      sengketa antara  Indonesia dan Amco asia ini merupakan sengketa penanaman modal (investasi)

Bab III  Hasil Arbitrase
Sehubungan dengan putusan tersebut dengan ini akan mengkaji/meninjau dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, antara lain sebagai berikut :
 1. Putusan Arbitrase Bertindak Seperti Putusan Peradilan Umum.
 Dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dengan tegas dnyatakan “Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasrkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri”.
 Dalam putusan arbitrase baik dalam tahun 1980 s/d 1990 didalam memberikan putusannya seakan-akan memutus seperti pemeriksaan di Peradilan Umum saja dengan mencari siapa yang bersalah dan melanggar hukum. Padahal sesuai dengan ketentuan jelas bahwa putusan tersebut diputus dengan itikad baik dan mengesampikan penyelesaian secara litigasi seperti di Pengadilan, namun dalam putusan arbitrase tersebut telah bertindak seperti proses litigasi berpekara di pengadilan tetapi seharusnya putusan tersebut harus memperhatikan segi ekonominya dengan memutus secara menguntungkan kedua belah pihak dan bukannya menghukum salah satu pihak.
 2. Putusan Arbitrase Melampaui Batas Yang Ditentukan Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Dalam pasal 48 ayat () Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dengan tegas dnyatakan “Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbebtuk.”. Putusan Arbitrase ini kalau dilihat dari kurun waktunya diputus kurang lebih selama ± 12 tahun, hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 48 ayat (1) undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang telah memberi batasan 180 hari untuk penyelesaiannya,namun dilihat dari faktanya putusan ini lebih dari 180 hari dan banyak memakan waktu yang relatif lama.
3. Pengkajian Ulang Atas Pelaksanaan Putusan Arbitrase Ke Pengadilan Negeri Jakarta. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 di Bagian Kedua Arbitrase Internasional dinyatakan :
 Pasal 65 :
 “Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah pengadilan negeri Jakarta Pusat”.
 Pasal 66
 “Putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum republik Indonesia,apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
 Huruf b:
 “Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan”.
 Huruf c:
 “Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
 Huruf d :
 “Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari ketua pengadilan negeri Jakarta Pusat”.
 Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jelas dinyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah pihak pelaksana putusan yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrasi internasional dan Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari ketua pengadilan negeri Jakarta Pusat.

 Berdasarkan pada ketentuan pasal 66 huruf b, c dan d, maka Pemerintah R.I. dapat meminta kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan eksekuaturnya dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri bahwa putusan tersebut kurang memperhatikan hukum Indonesia yang mana hal tersebut disyaratkan di dalam Pasal 52 Konvensi ICSID dan telah termaktub dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 (yang mengesahkan konvesi ICSID untuk Indonesia). Oleh karena itu nantinya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya akan melaksanakan yang sesuai dengan ketentuan hukum dan ketertiban umum yang sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia.

KESIMPULAN
Dengan melihat penyelesaian kasus sengketa penanaman modal asing antara Pemerintah Indonesia c.q BKPM dengan PT AMCO Limited melalui “legal dispute” pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing oleh Pemerintah Indonesia c.q BKPM maka yang perlu mendapat perhatian bagaimana proses beracara melalui arbitrase yang menurut teori dapat dilalui dengan cepat dan hasilnya memuaskan kedua belah pihak, namun dalam praktik seperti pada contoh kasus ini menghabiskan waktu sekitar 9 tahun lamanya.
Namun dalam putusan tingkat ketiga Dewan Arbitrase ICSID dapat diambil suatu pelajaran yang sangat bermanfaat bilamana berhadapan dengan pihak penanaman modal asing bahwa lisensi atau izin yang telah diberikan sedapat mungkin dihindari pencabutannya. Kemudian bilamana terjadi sengketa antara partner lokal dengan pihak penanam modal asing, pihak pemerintah sebaiknya tidak ikut campur dan mengambil tindakan – tindakan yang mengarah kepada pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing itu

Referensi :
https://binatangpoerba.wordpress.com/2011/10/13/analisa-terhadap-putusan-arbitrase-mengenai-perkara-hotel-kartika-plaza-di-tinjau-dari-undang-undang-nomor-30-tahun-1999-tentang-arbitrase-dan-penyelesaian-masalah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar